Oleh:Fahd ibn Shaleh Al-Ajlan

(Arrahmah.com) – Ada seorang menulis dalam laman pribadinya dijejaring sosial “twitter” berita tentang aksi bom bunuh diri dari pihak mujahidin dengan menggunakan bom mobil yang berakibat jatuhnya puluhan korban jiwa dan luka-luka.

Kemudian ada yang berkomentar menolak perbuatan itu: “Bertakwalah kepada Allah, bagaimana bisa engkau membolehkan ia membunuh dirinya sendiri lalu mengorbankan saudara-saudaranya yang lain dengan perbuatan itu, padahal Allah berfirman :

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. an-Nisa, 4: 93)

Ada juga yang komentar : “Dimana kehormatan darah seorang muslim? Bagaimana bisa engkau mengkafirkan saudaramu sesama muslim dan menghalalkan darahnya? Dimana keharaman membunuh jiwa?

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.” (QS. an-Nisa, 4: 29-30)

Penulis tidak melanjutkan dialog antara mereka dan belum membaca tanggapannya terhadap nasehat tersebut, tapi penulis yakin bahwa jawabannya akan seperti ini:

Tidak diragukan lagi akan haramnya mengkafirkan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Demikian juga haramnya menumpahkan darah yang terlarang, namun siapa yang telah terjatuh dalam kekufuran maka dia pantas dikafirkan jika memenuhi syarat dan tidak ada penghalang. Ketika ia membunuh pada dasarnya ia membunuh atas dasar alasan syar’i. Aku menghargai darah dan bertakwa kepada Allah dalam hal ini. Kalau bukan atas dasar takwa kepada Allah aku tidak mungkin mendukung perbuatan seperti ini.

Jadi, kita berhadapan dengan kondisi perasaan yang tidak berguna baginya peringatan untuk bertakwa kepada Allah dan haramnya menumpahkan darah serta bahaya pengkafiran. Karena engkau menakut-nakuti dia dengan sesuatu dimana ia memandang bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang perlu ditakuti. Ia memandang bahwa dirinya telah bertakwa kepada Allah ketika melakukan kemungkaran ini. Cara seperti ini tidak akan membawa hasil, dan berdialog dengan orang ini tentang perkara “menumpahkan darah” dan bahaya vonis kafir tidak ada gunanya.

Karena ia sepakat dengan engkau dalam pokok perkara itu, dan mungkin ia mengakui sebagaimana yang engkau akui tentang perlindungan terhadap darah dan pentingnya untuk teliti dalam masalah ini. Ia juga menyatakan persis dengan pendapat engkau tentang bahaya pemahaman Khawarij!

Tetapi pada saat yang sama, ia membela fenomena dan tindakan yang berseberangan dengan prinsip ini dan membuat kening berkerut. Tidak masalah baginya membunuh orang Islam atau mujahid di jalan Allah, bahkan dia siap bunuh diri dalam rangka membunuh para mujahid itu.

Kita diperhadapkan pada fenomena yang membingungkan. Ia tidak berselisih denganmu dalam hal menjunjung tinggi pokok syariat berupa perlindungan terhadap darah seorang muslim dan pentingnya berhati-hati dalam masalah ini. Juga tidak berbeda dalam perlunya ketelitian dalam menjatuhkan vonis kafir, atau bahaya membunuh jiwa, dan tidak bolehnya memvonis kafir pelaku dosa besar, dan seterusnya. Tetapi ada perkara cabang yang menggugurkan perkara pokok itu secara total, sehingga keberadaannya tidak berarti. Apalah artinya engkau menghormati darah seorang muslim dan prinsip tidak memvonis kafir tanpa alasan benar jika engkau memandang bolehnya seseorang bunuh diri untuk membunuh saudaranya para mujahid?!

Apa tafsiran dari paduan yang membingungkan antara pengakuan dan keyakinan terhadap pokok syariat dan di saat yang sama meyakini perkara cabang dan aplikasi yang merobek dan melanggar perkara pokok tadi?

Ada beberapa sebab yang memicu muncul fenomena yang kontradiktif ini:

PERTAMA

Wawasan global tentang perkara vonis kafir dan tidak memiliki pengetahuan secara rinci dan mendalam terhadap masalah vonis kafir.

Anda dapat melihat dengan jelas dalam perkara vonis kafir bahwa ada kelompok pemuda yang sangat hati-hati berfatwa dalam perkara pelik dalam ibadah dan muamalah atau perkara fikih yang lain. Hal itu karena ia tahu bahwa ada perbedaan pendapat yang membutuhkan penelitian secara seksama terhadap pendapat dan dalil-dalilnya. Juga karena sadar akan perlunya terlebih dahulu memiliki wawasan tentang ilmu alat berupa usul fikih dan bahasa Arab. Pada akhirnya ia menyerahkan perkara ini kepada ahlinya dan selalu mengatakan dalam perkara itu : “aku tidak tahu jawabannya”. Atau ia mengarahkan penanya kepada ulama yang ia percaya atau menukil fatwa ulama yang ia ikuti.

Secara umum engkau dapati bahwa ia sangat berhati-hati terhadap perkara itu dan sering berdalil dengan firman Allah :”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’: 36)

Tapi ketika berbicara tentang vonis kafir terhadap kelompok-kelompok tertentu atau menghalalkan darah dan hartanya atau aksi pembunuhan terhadapnya, sangat mudah engkau dapati orang yang sangat hati-hati dalam berfatwa dalam perkara ibadah menjadimufti/pemberi fatwa tersohor dan pengamat yang hebat. Dengan mudah dan gampang ia memvonis ribuan orang Islam dan mengatakan : “mereka boleh dibunuh dan diperangi karena mereka sudah kafir dan murtad!”.

Sangat aneh kelancangan memvonis kafir dan kehati-hatian dalam yang berlebihan dalam perkara ibadah!

Padahal secara teori, perkara darah, perang dan vonis kafir lebih pelik daripada perkara ibadah. Dan secara praktis, akibat yang timbul dari vonis tersebut lebih fatal karena berakibat pembinasaan jiwa dan harta. Oleh karena itu sangat wajar jika kehati-hatian lebih besar dalam perkara ini.

Hanya saja yang membuat perkara ini bagaikan perkara mudah dan sepele adalah karena sebagian orang mengetahui kaidah-kaidah umum sehingga ia melihat masalah ini sangat jelas tidak butuh penelitian dan kajian mendalam. Ia langsung menerapkan kaidah umum tersebut. Dan ketika ada orang yang menanggapinya ia tidak melihat bahwa perkara ini berhak ditanggapi. Malahan ia mencari kesalahan dalam paham orang yang menanggapinya atau menyalahkan niatnya. Lebih dari itu, orang yang hati-hati ketika berfatwa dalam perkara darah dan vonis kafir dengan mudah ia tuduh berpaham murji’ah,bodoh atau khianat!

Misalnya ia hafal kaidah “Membantu orang kafir dalam memerangi umat Islam termasuk perusak keislaman”, atau “Berhukum dengan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam adalah kekufuran”. Atas dasar pengetahuan global yang dangkal terhadap perusak-perusak keislaman ini, ia membangun seluruh aturan peradilan dan fikih.

Padahal setiap penuntut ilmu tahu bahwa terdapat rincian dalam perusak-perusak keislaman yang membutuhkan kajian yang teliti dan mendalam. Dan ketika berpindah ke proses penerapannya terhadap realita dan person juga butuh lebih hati-hati sebagaimana juga tinjauan hukum fikihnya membutuhkan ilmu yang lebih luas. Tapi orang yang hanya memiliki pengetahuan global itu tidak mengetahuinya lalu ia menjadikan ketidaktahuannya sebagai alasan bagi untuk bersikap lancang. Oleh karena itu dikatakan bahwa : “Orang yang paling lancang memvonis kafir adalah orang yang paling sedikit ilmunya tentang perkara itu”. Karena ia memperlakukan perkara vonis kafir seperti pelajaran matematika yang hitung-hitungannya jelas dan pasti, hanya pertambahan dan pengurangan saja!

Oleh karena itu kita dapati orang yang berdasarkan pengetahuan globalnya tentang hukum “Vonis kafir bagi siapa yang membantu orang kafir memerangi umat Islam”, mengkafirkan siapa yang duduk bersama orang kafir, atau berdamai dengannya, atau dipuji oleh orang kafir, atau memuji orang kafir, atau meminta tolong atau bantuan kepada orang yang ia vonis kafir akan divonis kafir pula.

Dan kita dapati juga orang yang mengetahui secara global kaidah “Siapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik maka ia kafir”, mengkafirkan siapa saja yang membedakan antara perbuatan kufur dan pelakunya dalam perkara tauhid sehingga ia menerima alasan sebagian orang yang jatuh ke dalam perbuatan syirik karena ketidaktahuan atau adanya syubhat. Orang yang membedakan antara perbuatan kufur dan pelaku kufur, meskipun mereka termasuk ulama besar, tetap dikafirkan oleh pemegang kaidah global tersebut karena dianggap tidak mengkafirkan orang-orang musyrik.

Dan kita melihat orang yang mendengar secara global pendapat bahwa “siapa yang membuat hukum selain Allah maka ia kafir”, lalu atas dasar itu ia mengkafirkan siapa saja yang memuji sistem demokrasi walaupun telah bersumpah bahwa ia hanya ingin hasil keputusan musyawarah yang tidak melampaui hukum syariat Islam.

Dan banyak lagi contoh lain yang merupakan akibat dari bersikap lancang dalam masalah ini dengan wawasan yang sangat lemah dalam ilmu syariat. Atau hanya merasa cukup dengan wawasan global dan umum yang dipelajarinya dalam beberapa jam saja. Lantas setelah itu, di hadapan publik ia mengkritik ulama besar dengan alasan mereka belum paham perkara tauhid. Atau ia merasa cukup dengan wawasan global tersebut sehingga ia tidak lagi butuh bertanya kepada ulama karena pertanyaan itu hanya bagi orang yang tidak tahu!

Karena ia telah hafal kaidah umum dan tahu bahwa paham Khawarij adalah paham yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar sehingga ia berkata bahwa aku berbeda dengan mereka. Karena aku tidak mengkafirkan pelaku zina, peminum arak, pembunuh, dan aku tidak berpendapat bahwa hukum asal manusia adalah kafir. Pokok pemahaman saya sangat berbeda dengan pokok pemahaman khawarij.

Ia merasa tenang karena ia jauh dari tuduhan-tuduhan orang terhadapnya berupa sikap fanatik yang mirip dengan Khawarij. Namun ia tidak paham bahwa ketika orang Khawarij mengkafirkan Ali radhiyallahu anhu dan sahabat pendukungnya, mereka mengkafirkannya bukan karena perkara dosa besar. Mereka mengkafirkannya hanya karena ia mengangkat seseorang sebagai hakim dalam perkara agama Allah. Padahal vonis kafir ini termasuk vonis kafir terhadap sesuatu yang tidak termasuk perbuatan kufur.

Orang-orang Khawarij itu mengeluarkan orang lain dari agama Allah tanpa ada dasar syar’i. Oleh karena itu Rasulullah menyebutkan ciri-ciri mereka bahwa mereka “membunuh orang-orang Islam”.[HR. Bukhari no. 7432 dan Muslim no. 1064]. Tentu mereka tidak membunuhnya kecuali setelah memvonis kafir dengan perbuatan yang bukan kekufuran.

Hal ini persis dengan apa yang terjadi pada orang yang mengkafirkan umat Islam dan menghalalkan darahnya akibat ketidaktahuannya akan kaidah-kaidah syariat. Sehingga ia mengkafirkan seseorang hanya karena ia berkawan dengan seorang yang dikenal kafir yang menunjukan bahwa ia setuju dan loyal kepadanya.

Ia juga mengkafirkan muslim yang bernegosiasi dengan orang kafir, atau orang yang DICURIGAI memiliki hubungan dengan negara kafir tertentu karena menunjukkan bahwa ia mendukung orang kafir dalam memusuhi umat Islam. Atau ia juga memvonisnya sebagai orang yang menentang proyek Islam hanya karena orang tersebut menentang sebuah proyek tertentu.

Ia juga memvonis kafir orang yang memuji sistem demokrasi atau duduk bersama orang yang melecehkan agama, dan vonis kafir semisalnya yang termasuk dalam sikap radikal yang ada pada paham Khawarij.

Mereka mengeluarkan manusia dari agama Allah karena ketidaktahuan dan kezhaliman berdasarkan kaidah dan hukum yang tidak ada dasar ilmunya dari Allah. Hal itu karena ia merasa cukup dengan kaidah-kaidah umum sehingga wajar saja jika ia terjatuh dalam jurang tanpa ia sadari lalu ia merasa heran terhadap orang yang menuduhnya berpaham khawarij! Ia pantas heran, karena ia tidak tahu tentang perkara-perkara detail ini yang membeberkan letak kekeliruan dalam perkataannya.

Oleh karena itu, tersebar di kalangan orang yang tidak tahu kecuali kaidah-kaidah umum pengkafiran dengan bentuk umum. Engkau akan dengar ada yang menuduh murtad orang Islam disebabkan sikap menghalangi jalannya proyek Islam dan penegakan khilafah Islam, permusuhan terhadap negara Islam, berinteraksi dengan orang kafir yang menunjukkan ridha terhadapnya, dan semisalnya yang setiap penuntut ilmu tahu bahwa semua itu tidak termasuk dasar ditetapkannya hukum syariat apalagi untuk memvonis kafir dan menghalalkan darah.

Ia adalah hukum umum yang bisa dikatakan bahwa jika ada sepuluh orang berkumpul untuk menafsirkannya maka mereka akan berselisih hingga lahir sebelas penafsiran!

Bahkan ini semakin menyebar sehingga kita lihat ada yang memvonis kafir seseorang disebabkan ia menghadiri suatu pertemuan yang di dalamnya terdapat ucapan yang nyata sebagai kekufuran sementara ia tidak berbicara. Karena orang yang diam sama seperti orang yang berbicara, sehingga vonis kafir bisa disebabkan oleh ucapan, perbuatan dan sikap diam!

Bahkan masalah ini semakin parah sehingga kita lihat ada yang memvonis orang lain karena orangkafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam-pent) senang kepadanya atau memujinya, sehingga vonis kafir tidak hanya disebabkan perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bersumber dari seseorang tapi juga disebabkan hal itu datang dari orang lain terhadapnya.

Semua ini disebabkan oleh karena perkara vonis kafir dan penghalalan darah orang Islam ditangani oleh orang yang bukan ahlinya dan orang-orang bodoh yang hanya tahu segelintir kaidah-kaidah umum lalu merusak hukum-hukum syariat sementara mereka tidak memahami sedikitpun detilnya.

Di antara mereka ada yang menyangka bahwa ia telah komitmen terhadap pokok sunnah dan berjalan di atas kaidah-kaidah ulama hanya dikarenakan ia bertolak dari sebuah kaidah syariat lalu kemudian menyelam dalam perkara detil dan cabang tanpa ilmu dan dalil.

KEDUA

Orang yang mengklaim bahwa ia tidak bermaksud menumpahkan darah atau mengkafirkan umat islam, tapi demi membela agama Allah dan memerangi orang-orang murtad serta menghalangi kerja kaki tangan musuh yang ingin merealisasikan tujuannya.

Dengan demikian ia menganggap bahwa tuduhan kepadanya bahwa ia haus darah dan mudah mengkafirkan orang lain adalah bentuk kezhaliman, karena ia hanya ingin jihad di jalan Allah dan membela darah dan harta umat Islam.

Catatan : Niat seperti ini tidak menggerakkan dorongan dalam hati untuk melihat apa yang dilakukannya berupa pelanggaran dalam perkara pokok. Tetap saja perkara pokok itu tidak berlaku, karena niatnya baik, namun pada dasarnya ia lalai dari perkara pokok syariat yang jelas, yaitu bahwa niat baik tidak dapat merubah perbuatan buruk menjadi baik. Betapa banyak orang berniat baik tapi tidak mendapatkan kebaikan. Bahkan orang-orang khawarij yang dikecam dalam agama dan diperangi oleh Sahabat Nabi mereka adalah ahli ibadah dan jihad serta memiliki kesungguhan dalam ketaatan, namun hal ini tidak menghalanginya dari celaan Nabi : “mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang menembus targetnya”. [HR. Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1066]

Yang dinilai adalah kesesuaian perbuatan dengan syariat, jika bertentangan dengan syariat maka niatnya tidak berpengaruh dalam penetapan hukum terhadap pebuatannya. Bahkan berpatokan pada niat baik dalam kondisi seperti ini dikhawatirkan termasuk sifat kagum pada diri sendiri yang dengannya ia merasa tidak pantas dikatakan padanya : “engkau menyelisihi perkara pokok syariat”. Maka perkara itu termasuk mengikuti hawa nafsu yang menyebabkan seseorang tersesat tanpa ia sadari.

“dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS. Shad : 26)

Masalah “hawa nafsu” biasanya dikesampingkan ketika berbicara tentang sikap radikal. Hal itu karena dilihat dari tinjauan bahwa radikalisme biasanya disebabkan karena keberagamaan, ibadah dan pengkultusan terhadap syariat, maka seseorang tidak menyangka ada hawa nafsu yang mempengaruhinya sebagaimana pada aliran-aliran lain yang meremehkan agama. Namun pada hakikatnya hawa nafsu bisa saja terdapat pada keduanya, dengan hawa nafsu bisa menjadi radikal atau sebaliknya. Itulah sebabnya ulama menamakan kelompok khawarij dengan ahlul ahwa’/pengikut hawa nafsu.

Hawa nafsu tidak hanya berarti seorang meninggalkan kewajiban syariat karena ia tidak menyenanginya, tapi hawa nafsu sangat banyak bentuknya, bisa saja tidak diketahui banyak orang.Hawa nafsu mana yang lebih nampak dari kondisi orang yang terus larut dalam berbuat zhalim dan tidak berhenti ketika dinasehati dan tidak memperdulikan ulama dalam perkara syariat, lalu menodai kehormatan ulama dan pejuang di jalan Allah dan menuduh mereka telah kafir, khianat dan bobrok? Pada saat yang sama ia memandang bahwa dirinya dan orang yang serupa dengannya berada di pihak yang benar, kemudian berbicara dalam permasalahan-permasalahan besar tanpa merasa perlu untuk perlahan-lahan dan mendengarkan nasehat bilamana sikap yang diambilnya perlu ditahan atau lebih berhati-hati, ini adalah ombak hawa nafsu yang membawa pelakunya tanpa ia sadari.

KETIGA

Terlalu percaya terhadap sebagian orang atau aliran atau kelompok yang dianggapnya berada di atas kebenaran sehingga ia menerima segala yang datang darinya tanpa seleksi.

Karena ia memandang bahwa mereka telah sampai pada tingkat beragama yang tidak mungkin terjatuh dalam kesalahan ringan apalagi perbuatan kriminal yang sadis seperti itu. Maka kritikan keras pada permasalahan parsial yang menuntutnya harus merujuk kepada perkara pokok dan kaidah umum, tidak membuat dia bergeming sedikitpun.

Hal itu karena ia memandang bahwa si fulan atau kelompok fulan telah mengambil sikap itu, dan dia lebih tahu, lebih bertakwa dan lebih baik, tidak mungkin tindakannya menyelisihi perkara pokok itu. Dengan demikian ia tetap meyakini perkara pokok itu secara teori namun pada aplikasinya ia mengabaikannya, karena ia hanya mengikuti orang lain. Ini adalah bentuk taklid tercela yang tidak bisa ditolerir. Seharusnya ia mengukur semua pihak berdasarkan hukum syariat. Karena ketika orang yang terbunuh datang menuntut engkau di hadapan Allah maka tidak akan berguna alasan bahwa si fulan mengatakan kepadaku bahwa ia telah halal darahnya atau aku diperintah pemimpin untuk membunuhnya. Ini adalah taklid buta, persis sama dengan taklidnya orang-orang kafir ketika menolak apa yang dibawa oleh para Rasul : “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (QS. Az-Zukhruf : 23)

KEEMPAT

Dampak perselisihan dan perseteruan yang terjadi antara partai dan kelompok terhadap penilaian dan penamaan syar’i.

Padahal semestinya perselisihan dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hukum syariat yang menjadi penengah antara orang-orang yang berselisih. Agar supaya perkara pokok dapat mengontrol segala tindakan dan menilai penerapan kaidah-kaidah umum. Bagi sebagian orang, saat perkara ini menjadi bahan perselisihan antara kelompok, partai dan pemikiran, maka sikapnya mengikuti sikap kelompoknya terhadap sesamanya dan sikap kelompok terhadap kelompok-kelompok lain, sehingga tidak lagi mengingat nilai-nilai dan ketentuan syar’i yang menyentuh setiap person tanpa melihat kelompoknya. Ia hanya melihat setiap person berdasarkan sikap kelompok terhadap kelompok tersebut, yang menjadikan pokok-pokok syariat diabaikan dan tidak diterapkan karena dikalahkan oleh kebijakan kelompok.

Dengan sikap dingin, sebagian mereka berkata dan membenarkan peristiwa pembunuhan : “Mereka itu akan menjadi pengkhianat di masa akan datang”. Kalaupun memang mereka akan seperti itu, apakah dibenarkan dalam syariat membunuh orang yang engkau perkirakan akan kafir kemudian?

Sebagian lagi berkata bahwa kelompoknya memiliki proyek yang dimusuhi oleh orang timur dan barat, dan bahwa dia sedang membela proyek islami melawan orang-orang zhalim. Kalaupun itu demikian, apakah hal ini memberimu legitimasi syar’i untuk menghalalkan darah siapa saja yang kau inginkan yang kau anggap berbahaya bagimu?!

Demikianlah, masalah ini berubah menjadi perseteruan kelompok, dan kelompok inilah yang dianggap Islam. Siapa yang memeranginya maka ia memerangi Islam dan halal darahnya. Siapa yang berada di pihak kelompok itu maka dia adalah orang mujahid yang beriman dan bertauhid. Dan siapa yang berada di luar kelompoknya maka kalau tidak kafir murtad maka ia tidak jauh dari kemurtadan, walaupun ia tidak mengatakan itu berdasarkan teori tapi dalam aplikasinya ia menerapkan cara ini.

Permusuhan kelompok membutakan seseorang dari kewajiban syariat sebelum ia menyandarkan orang lain kepada perkataan atau perbuatan kufur. Bisa jadi perbuatan atau perkataan itu tanpa diragukan adalah kekufuran, namun sebelum engkau memvonis seseorang, kamu harus memiliki bukti kuat yang mendukung hal itu. Hanya saja permusuhan kelompok membuat buta sekelompok orang sehingga hilang semua standar nyata untuk pembuktian. Sehingga sangat mudah mengkafirkan orang lain dan bahkan kelompok atau aliran-aliran berdasarkan berita di sebuah koran Barat yang ia baca melalui jejaring sosial dan terjemahan yang ia tidak ketahui sumbernya! Ketika diminta untuk membuktikan secara ilmiah dimana butuh obyektifitas dan metodologi yang teliti, ia mulai membeberkan kekeliruan yang dilakukan oleh aliran dan kelompok tersebut. Itu berarti bahwa masalah kelompok dan perseteruan terhadap kelompok-kelompok merupakan pemicu utama untuk memvonis kafir yang membuat ia tidak mementingkan pembuktian dan hanya mencari setelah itu apa saja yang bisa dijadikan alasan.

KELIMA

Berpegang dengan beberapa kondisi yang dikecualikan oleh syariat dari hukum asal, hanya saja ia melihatnya secara berlebihan sehingga mengabaikan hukum asal dan mencabutnya.

Misalnya, ia yakini haramnya membunuh jiwa seorang muslim, namun ia memandang ada beberapa kondisi yang dimaafkan oleh syariat ketika membunuh disebabkan kekeliruan atau penafsiran. Sebagaimana pada kasus Usamah radhiyallahu anhu ketika membunuh seorang kafir yang mengucapkan kalimat laa ilaha illallahu pada perang Hunain, lalu Nabi mengingkari perbuatannya, namun Rasulullah tidak menjatuhkan hukum qisas baginya dan juga tidak menuntut diyat atau denda.[HR. Bukhari no. 6872 dan Muslim no. 96]

Demikian juga pada kasus Khalid bin Walid radhiyallahu anhu ketika beliau keliru membunuh sekelompok orang dari suku Bani Judzaimah yang telah masuk Islam. Nabi tidak lebih dari sekedar mengucapkan : “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dilakukan Khalid”. [HR. Bukhari no.4339]

Peristiwa-peristiwa seperti ini mendominasi pemahamannya sehingga dengan sangat mudah baginya menilai setiap peristiwa pembunuhan bahwa itu kelalaian dan sama dengan tindakan Khalid yang tidak harus membayar diyat atau denda. Cukup baginya berlepas diri secara umum dari pembunuhan terhadap setiap muslim, sampai-sampai sebagian mereka menilai peristiwa pembunuhan bahwa hal itu tidak mengharuskan bayar diyat atau denda atau garansi, bahkan sama sekali tidak perlu diperadilankan.

Ketika ia mendengar berita kasus pembunuhan atau penyerangan, dengan spontan ia mengatakan bahwa itu adalah suatu yang lumrah dalam medan perang dan hal yang serupa pernah dialami oleh sahabat Rasulullah, maka tidak perlu dibesar-besarkan.

Dengan demikian kita diperhadapkan suatu problema dimana perkara yang dikecualikan dari hukum asal lebih ditonjolkan sehingga menggeserkan hukum asal. Bahkan hampir saja hukum asal dalam perkara jiwa menjadi terbalik, yaitu mendekriminalisasi pembunuhan dan meniadakan konsekuensi dari pembunuhan berupa qishash atau diyat atau denda. Karena dianggap human error, ini pada hakikatnya berimbas pada penghapusan terhadap apa yang dibawa oleh syariat berupa pengagungan terhadap jiwa dan hak-hak wajib yang berkaitan dengannya.

Tentu ini bukan metode Nabi. Justru Rasulullah sebagai hakim yang melihat pada perkara-perkara cabang tertentu lalu memutuskan sebagai tindakan keliru dan mengecam pelakunya setelah terbukti sebagai pembunuhan yang tidak disengaja.

Hanya saja, hal ini tetap menjadi pengecualian dan hukum asal harus tetap berlaku bahwa pembunuh berhak diqishash dan berlaku segala konsekuensi dari perbuatannya. Ia harus membuktikan bahwa tindakannya itu dikarenakan tidak sengaja atau karena salah penafsiran. Kemudian ditinjau, apakah hal itu termasuk mendapatkan dispensasi menurut syariat atau tidak dengan tetap menjaga pentingnya melindungi jiwa dengan menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang meremehkan perkara itu. Agar supaya perkara cabang ini tetap pada posisinya sebagai hal yang dikecualikan syariat. Tidak dibesar-besarkan lalu dengan mudah darah seorang muslim ditumpahkan dan sesaat setelah itu dengan mudahnya ia katakan : “tidak ada diyat, denda dan qishash”. Meski ia berbicara tentang kehormatan jiwa namun itu tidak berlaku karena pengecualian telah mengalahkannya.

Oleh karena itu, siapa membela diri, harta dan kehormatannya lalu ia membunuh orang yang menyerangnya maka ia tidak berdosa karena Nabi ketika ditanya : “Bagaimana menurut Anda jika ada orang yang ingin merampas hartaku?”. Beliau bersabda : “Jangan kau berikan”. Penanya lanjut bertanya : “Bagaimana menurut Anda jika ia menyerangku?”, beliau bersabda : “Lawanlah dia”. Ia berkata : “Bagaimana jika ia membunuhku”?, beliau menjawab :”Kamu mati syahid”. Lalu ia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku yang membunuhnya”?, beliau bersabda : “Ia masuk neraka”. [HR. Muslim no.140]

Hanya saja hukum asal dalam hal ini bahwasanya ia membunuh jiwa tanpa ada alasan yang dibenarkan kecuali jika ia mampu membuktikan di hadapan hakim bahwa ia membunuh demi membela diri.

Inilah lima sebab :

  1. Pengetahuan global terhadap kaidah-kaidah umum syariat tanpa memahami rincian dan batasan-batasannya.
  2. Tidak sungguh-sungguh dalam mengadili tindakannya sesuai aturan syariat karena dengan alasan memiliki niat dan maksud baik.
  3. Taklid buta kepada orang lain yang menyebabkan ia tidak menggunakan akal, ilmu dan agamanya.
  4. Perseteruan golongan yang menyebabkan aturan syariat terabaikan akibat permusuhan sengit.
  5. Menempatkan pengecualian bukan pada tempatnya.

Ini adalah penyebab utama yang menyebabkan perkara pokok syariat terabaikan dan tidak dapat menjaga sikap manusia terhadap perkara-perkara cabang yang menyimpang serta tidak dapat mencegahnya hingga terjatuh pada perkara-perkara cabang dan aplikasi yang menyimpang.

Kalimat “Bertakwalah kepada Allah” akan menggetarkan hati seorang muslim, peringatan akan kehormatan darah, hisab/perhitungan dan hak kewajiban akan membuat bulu kuduk orang awam muslim walaupun masih banyak kelalaiannya, bisa jadi hal itu mendorongnya untuk sangat berhati-hati agar tidak menanggung akibatnya di hari kiamat. Dan mungkin saja ia lebih memilih untuk mengalah dan rela menjadi pihak yang terbunuh karena takut menjadi pembunuh. Namun nila-nilai luhur ini disikapi dingin oleh orang radikal, ia menganggap bahwa itu adalah sikap bodoh dan tidak memahami esensi tauhid, sehingga nasehat dan peringatan semakin menambah kesesatannya.

Hal ini semakin menguatkan apa yang diingatkan oleh kaum salaf akan bahaya syubhat yang melebihi bahaya syahwat, karena ia melihat dirinya berada di atas kebenaran sehingga ia tidak akan berhenti dan mundur dan ia tidak menganggap bahwa tindakannya perlu ditinjau ulang. Lalu ia terus pada sikap radikalnya hingga ia membinasakan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya.

Fenomena “mengabaikan pokok syariat” sangat nampak pada praktek radikal modern. Seorang yang berpaham radikal berbicara begitu indah tentang perkara pokok dan dasar dan mengaku berlepas diri dari teori kaidah umum kaum radikal, namun dalam praktek nyatanya ia menyimpang jauh dari pokok-pokok syariat ini. Ia menampakkan bentuk-bentuk penyimpangan memalukan yang menyingkap ketimpangan antara perkara pokok dan cabang. Dan yang berlepas diri dari pokok pemahaman kaum radikal justeru jatuh dalam praktek yang sama, bahkan mungkin lebih parah, ia sadari atau tidak.

Diterjemahkan oleh :
MUQAWAMAH MEDIA
MAJALAH AL-BAYAN